Pada tahun 2021 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka kasus perceraian pada tahun 2021 di Indonesia yakni mencapai 447.743, angka ini merupakan angka kasus perceraian yang paling tinggi sejak 2017 silam, dalam kasus perceraian pada tahun 2021 pihak istrilah lebih banyak yang menggungat di pengadilan yakni sebesar 75% atau 337.343.
Kasus perceraian ini adapun sebabnya diantara lain seperti selisih yang tak kunjung henti, dan masalah ekonomi, seperti yang sama-sama kita ketahui bahwa perceraian terdapat dua belah pihak yakni suami dan istri, namun siapa sangka terdapat satu pihak lagi yang sering dilupakan, yakni seorang anak.
Anak sering kali menjadi korban dalam kasus perceraian, entah itu diterlantarkan atau diperebutkan oleh orang tua nya yang bercerai, dalam hal ini perlu adanya standarisasi dalam mendapatkan hak asuh anak, padahal menurut (Pasal 45/UUP I 1974) orang tua memiliki kewajiban, memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya meskipun orang tua bercerai namun kewajiban ini masih tetap berlaku.
Menurut Dr. Wardah Nuroniyah, SHI, MSI dalam menyampaian pendapatnya sebagai Ahli dalam sidang kasus Hak Anak perkara 6254/Pdt.G/2022/PA.Tgrs pada hari kamis tanggal 19 Januari 2023 di PA Tigaraksa Banten, ia menyatakan bahwa anak bukan untuk dikuasai tetapi bagaimana orang tua dapat berpartisipasi dalam mendidik anak, mengasuh anak, hak asuh anak ini juga jangan dijadikan adu kemampuan orang tuanya.
Ia menambahkan bahwa pemberian hak asuh anak harus berdasarkan pada integritas, moralitas, kemampuan untuk mendidik anak, dan memberikan masa depan yang lebih baik, selain itu ia menambahkan, memelihara anak tidak bisa dimonopoli oleh jenis kelamin tertentu akan tetapi semua aspek tersebut sama-sama bisa dimiliki baik oleh kaum perempuan (ibu) maupun oleh kaum laki-laki (bapak).
Lebih lanjut Dr. Wardah Nuroniyah, SHI, MSI selaku Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengungkapkan bahwa yang terpenting dalam hak asuh anak berpegang pada prinsip ‘Taradlin dan Tasyawur dalam hal mewujudkan kepentingan anak, hal ini dapat dipahami secara mafhum mufafaqah dari Q.S al-Baqarah (2): 233. Pelaksanaan Hadlanah juga harus berprinsip pada Prinsip Mubadalah/resiprokal, yaitu kebaikan didalamnya harus diperoleh kedua belah pihak (masing-masing sebagai aktor aktif dan penerima manfaat). Martabah yaitu anak sebagai orang yang bermartabah harus terpenuhi kebutuhannya. ‘Adalah, kapasitas, ilmu, kedudukan yang berbeda-beda mengakibatkan pihak yang memiliki kelebihan harus memberikan manfaat lebih besar.
Penulis : Muhammad Ridho Hidayatullah