Gerabah Sitiwinangun : Dari Turun Temurun Menjadi Mata Pencaharian

0
Dok. Pribadi



Sitiwinangun adalah sebuah desa yang ada di Kecamatan Jamblang Kabupaten Cirebon.  


Nama Sitiwinangun berasal dari gabungan kata Siti yang artinya tanah dan Winangun yang berarti bentuk. 


Penamaan tersebut bermula saat jaman dahulu sekitar tahun 1222 tradisi membuat gerabah sudah dilakukan oleh nenek moyang penduduk Sitiwinangun. 


Saat itu di daerah Kebagusan sudah ada padukuhan namanya padukuhan Kebagusan dan masyarakat Kebagusan pada waktu itu sudah mengenal kerajinan gerabah. 


Kerajinan gerabah yang ditemukan pada masa kerajaan Majapahit ataupun Singasari memiliki kesamaan dengan gerabah yang dibuat oleh warga Kebagusan.


Dari latar belakang tersebut menjadikan Sitiwinangun sebagai sentra gerabah tertua di Jawa Barat. 


Terkait hal itu, sebagian penduduk bermata pencaharian sebagai pengrajin gerabah.


Apalagi ketika di era tahun 1980an, ketika Sitiwinangun ada pada masa kejayaannya sebagai penghasil gerabah terbaik.


Empat dari lima blok yang ada di desa tersebutt penduduknya berkecimpung di dunia penggerabahan. 


Sehingga banyak truk-truk pembeli yang mengantri di sepanjang jalannya untuk mengangkut gerabah-getabah tersebut.


Salah satu pengrajin dari tahun 80an sampai sekarang ialah Ibu Rumsiti, beliau sudah terjun dalam membuat gerabah sejak sd sampai sekarang. 


Beliau berpendapat bahwa memang Sitiwinangun ini sudah menjadi sentranya pembuatan gerabah tertua, "Sudah lama sejak saya SD dulu saya ikut orang-orang, lumayan buat anak SD dapat uang tambahan buat jajan" ujar beliau.


Adapun gerabah yang dibuat beliau tergantung pesanan pembelo atau dititipkan ke warung-warung dengan kisaran harga mulai lima ribu rupiah sampai delapan ratus ribu rupiah. 


Ketika diwawancarai beliau menyampaikan bahwa "Yang sering dibeli itu mangkok-mangkok buat makanan kaya tahu gejrot",. Ujar Ibu Rumsiti


jadi untuk sekarang ini seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa diera 80an yang sedang jaya-jayanya berbeda di tahun 90an Sitiwinangun mengalami kemunduran diakibatkan maraknya produk dari plastik sehingga peluang pasar gerabah menurun.


Di tahun 2000an Sitiwinangun mencoba merevitalisasikan kembali agar desa tersebut tetap menghasilkan gerabah, salah satunya dengan inisiatif warga sendiri yang memang bisa dibilang sebagai mata pencaharian mereka. 


Maka dari itu, ibu Rumsiti sendiri membuat gerabah untuk dipasarkan itu banyak digunakan untuk makanan. Selain itu digunakan sebagai alat rumah tangga sehari-hari, grabah desa Sitiwinangun juga digunakan untuk kepentingan religi dan keagamaan antara lain memolo atau mahkota yang berfungsi sebagai penutup ujung atap pada bangunan masjid sebagai tempat peribadatan.


Geprakan lain juga yang dilakukan Sitiwinangun, menjadikannya desa tersebut sebagai wisata edukasi. 


Jika Ibu Rumsitii tadi membuatnya di rumah, berbeda ketika ada sekelompok orang baik itu dari sekolah, perguruan tinggi dan instansi-instansi lain yang berkunjung ke tempat tersebut maka pengelola gerabah tersebut yang kebetulan di kelola oleh pemerintah desa lebih tepatnya BumDes, para pengrajin akan datang ke pusat utama pembuatan gerabah tersebut. 


Dengan kata lain, para pengrajin bergabung menjadi turguide nya orang-orang tersebut. Hal ini tentu sejelan dengan awal mula yang menjadi cikal bakal pembuatan gerabah dijaga dan dilestarikan hingga sampai sekarang, dan menjadi mata pencaharian bagi masyarakat setempat. 




Penulis: Risna Ayu Lestari

Mahasiswi jurusan Sejarah Peradaban Islam, Institut Negeri Islam (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon.


Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top