![]() |
(Dok. Istimewa) |
KANALPROGRES.com - Setiap tanggal 23 April, dunia memperingati _World Book and Copyright Day_ atau yang lebih dikenal sebagai Hari Buku Sedunia. Dicanangkan oleh UNESCO pada tahun 1995, peringatan ini bukan sekadar selebrasi simbolik atas keberadaan buku, tetapi juga refleksi global tentang pentingnya membaca, penerbitan, dan perlindungan hak kekayaan intelektual dalam pembangunan peradaban.
Pemilihan tanggal ini bukan tanpa alasan historis. Tanggal 23 April menandai hari wafatnya tiga tokoh sastra besar dunia: William Shakespeare, Miguel de Cervantes, dan Inca Garcilaso de la Vega. Maka, dalam konteks ini, buku bukan hanya instrumen pendidikan, tetapi juga warisan budaya dan identitas intelektual suatu bangsa.
Buku di Era Digital: Antara Akses dan Apatis
Data UNESCO dan World Literacy Foundation mencatat bahwa meski lebih dari 90% negara di dunia memiliki kebijakan literasi, kenyataannya minat baca global mengalami stagnasi, bahkan menurun di beberapa wilayah. Di Indonesia, misalnya, survei _Most Littered Nation In the World_ oleh Central Connecticut State University pada 2016 menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca.
Fakta ini semakin kontras bila dibandingkan dengan data dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang menunjukkan bahwa produksi buku nasional terus meningkat. Pada tahun 2023, terdaftar lebih dari 120.000 judul buku baru di Indonesia. Ini menunjukkan adanya paradoks antara kuantitas dan kualitas penerimaan publik terhadap buku sebagai medium ilmu.
Kesenjangan Literasi: Masalah Struktural dan Kultural
Rendahnya minat baca tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor struktural dan kultural. Keterbatasan akses terhadap buku di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), rendahnya daya beli masyarakat terhadap buku, serta dominasi konten digital instan menjadi tantangan nyata. Sementara di sisi kultural, budaya diskusi dan apresiasi terhadap karya tulis belum sepenuhnya menjadi bagian dari kebiasaan kolektif.
UNESCO menegaskan bahwa literasi adalah hak asasi manusia dan fondasi pembelajaran seumur hidup. Maka, peringatan Hari Buku Sedunia harus menjadi momentum bagi negara dan masyarakat untuk memperkuat ekosistem literasi secara menyeluruh mulai dari rumah, sekolah, hingga kebijakan nasional.
Menuju Literasi Berkelanjutan
Tantangan masa depan bukan sekadar meningkatkan angka melek huruf, tetapi membentuk masyarakat pembelajar yang kritis dan adaptif terhadap perubahan. Dalam hal ini, buku cetak maupun digital tetap menjadi pilar utama. Literasi bukan sekadar kemampuan membaca, melainkan kemampuan memahami, mengevaluasi, dan mencipta pengetahuan.
Selamat Hari Buku Sedunia. Mari menjadikan buku lebih dari sekadar objek, tapi sebagai mitra dalam membangun peradaban yang lebih bijak, cerdas, dan literat.***
Penulis : Dandi Priadi